Blogger news

You are reading eza's blog

April 2010

Ini tentang Standard Kejujuran Kita

21.30, kereta ekonomi AC jurusan Kota - Bogor pergi begitu saja meninggalkan aku dan kawanku yang sudah pontang-panting mengejarnya. Itu berarti kami harus menunggu hingga 22.20 untuk kereta terakhir jurusan Bogor, yang artinya kami masih punya waktu hampir satu jam untuk ngobrol ngalor ngidul demi membunuh waktu.

Hari itu, 27 Maret 2010, aku dan kawanku mengikuti acara 60 Earth Hour yang diadakan WWF di monas. Rencanya kami akan berkumpul dengan anggota Backpacker Murah lainnya di Monas, tetapi sayang, setelah menunggu di pintu gerbang patung kuda, kami tidak juga menemukan keberadaan anggota BM, tetapi tidak mengurangi antusias kami dalam mengikuti Earth Hour, kami tetap setia menunggu pukul 20.30 dimana saat itu secara serentak pusat kota akan mematikan lampu selama satu jam kemudian untuk menghemat energi. Tepat pukul 21.00 kami segera meninggalkan monas untuk pulang ke Bogor. pukul 21.30 kami tiba di Stasiun Kota (Stasiun Kota selalu menjadi meeting point kami kalau bepergian, bahkan mau ke Senayan pun harus lewat stasiun Kota). Dan disinilah pembicaraan kami dimulai.

Kami adalah dua orang pekerja yang tergagap-gagap menghadapi kenyataan di dunia tempat kami bekerja. Kami mulai masuk dunia kerja ini dengan polosnya. Menuruti perintah atasan, atau perintah senior tanpa memikirkan hal lainnya. Pengetahuan kami tentang dunia sekitar begitu minim, hingga kami yakin tempat ini bukan tempat yang layak untuk di korupsi atau dimanipulasi. Tetapi itu dulu, beberapa tahun silam, ketika kami masih menjadi pekerja lugu. sekarang, kami sudah lebih memahami apa yang terjadi disini. Segala kebusukan yang ada mulai tercium, dan kami jengah menghadapi semuanya, tetapi juga tidka berdaya melawan lingkungan yang sudah demikian rusak, bahkan mungkin sekarang kamilah pelakunya.

Pembicaraan ini membuat aku termenung, pikiranku kembali ke masa beberapa tahun silam ketika aku masih pendatang baru, rasanya aku memiliki standard yang tegas tentang kejujuran, orang tuaku bisa jadi merupakan korban ketidakjujuran beberapa pihak yang berusaha mencurangi golongan bawah, dengan menciptakan seribu kabar untuk membenarkan kecurangan mereka, dan saat itu, aku tahu betul bahwa itu salah, itu tidak benar, dan aku berjanji tidak akan terjadi padaku.

Tetapi sepertinya merealisasikan janji tidak semudah ketika mengikrarkannya. Lambat laun standard kejujuran makin pudar. aku makin sulit membedakan mana yang benar, wajar, atau aku sudah terjun ke jurang kebohongan. Budaya manipulasi, lingkungan yang serba kompak dalam kebusukan, terlebih lagi sulitnya jujur seorang diri, membuat standard kejujuran ini mulai melebar, mulai pudar, dan sulit dikenali.

Mungkin saja, inilah kegalauan yang dulu dialami pemuda McCandless sehingga ia memilih mengasingkan diri dalam arti yang sebenarnya karena muak dengan kemunafikan lingkungannya. McCandless jelas memilih melindungi prinsipnya dari kotoran yang dapat menodai prinsipnya sewaktu-waktu.

Mendapati dirku sekarang, terkadang aku ingin tahu apakah kelak aku bisa mengatakan "Lebih Baik Diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan" seperti dulu pernah dikatakan Gie.


INTO THE WILD

Into The Wild: Kisah Tragis Sang Petualang Muda Into The Wild: Kisah Tragis Sang Petualang Muda by Jon Krakauer


My rating: 3 of 5 stars
pertama kali mendengar cerita tentang Chris McCandless dari note seorang kawan di facebook,yang baru saja traveling ke Asia Tenggara, dari sana temanku itu bertemu dengan beberapa backpacker mancanegara yang akhirnya keluarlah cerita mengenai pemuda 20 tahunan yang memutuskan meninggalkan kehidupan mapannya untuk ke Alaska, hingga ia akhirnya tewas di sana. Penasaran dengan cerita lengapnya, aku mulai berburu Into The Wild. Berbagai toko buku dari yang paling canggih sampai yang berjejer sepanjang rel kereta api di kawasan UI ku sambangi demi mendapatkan buku ini. Tetapi justru akhirnya aku dapatkan dari situs www.kutukutubuku.com

Karakter dan pola pikir Chris McCandless lah yang membuat aku bersedia berjibaku mencari buku ini, aku sangat ingin tahu apa yang ada dalam pikiran seorang lulusan universitas dengan nilai yang sangat baik, hingga ia lebih memilih meninggalkan keluarga dan harta yang dimilkinya demi petulangan solo ke alam liar Alaska. Tetapi sayang menurutku, Jon Krakauer selaku penulis buku terlalu berusaha memberikan sudut pandang yang lain terhadap orang-orang seperti Chris yang menikmati petualangan ke alam liar, Aku bahkan terganggu dengan dua bab yang khusus menceritakan perjalanan pendakian Jon sendiri, yang mungkin saja maksudnya untuk membantu pembaca memahami pola pikir Chris, tetapi hal itu justru merusak eksplorasiku terhadap karakter Chris.

Untuk buku dengan jenis yang sama (true story), aku lebih menikmati Alive yang diceritakan secara apik oleh Piers Paul Read. Meskipun Into The Wild dan Alive sama-sama memiliki kontroversi dalam kisahnya, namun Piers Paul Read tidak terjebak opini pribadi terhadap kasus Alive.

View all my reviews >>

Postingan Lebih Baru Postingan Lama