Blogger news

You are reading eza's blog

Januari 2010

PERGURUAN TINGGI IDAMAN VERSI KARYAWAN

Kuliah bukan cuma milik mereka yang baru saja tamat SMA. Mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja pun ingin merasakan suasana perkuliahan. Diantara dilema tentang kuliah karyawan, resah dan khawatir jika ijazah ini tidak di akui pihak manapun, aku tetap memutuskan kuliah sambil bekerja berbekal keyakinan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Hal unik dari kelas khusus karyawan ini adalah latar belakang mahasiswanya, ada yang sudah mencapai level manager, supervisor, atau para pemula yang baru merintis karir. Berbagai motivasi yang membuat para karyawan ini memutuskan untuk melanjutkan sekolah mereka, dari sekedar mencari ijazah untuk kenaikan golongan di kantor, merasa tidak enak pada bawahannya yang sudah sarjana, padahal ia sendiri hanya berbekal ijazah SMA, atau yang masih memiliki idealisme tinggi sehingga masih ingin terus mencari ilmu.

Pada dasarnya semua mahasiswa memiliki pandangan sama mengenai sebuah universitas idaman. Kelengkapan peralatan praktikum, kualitas dosen, suasana kelas yang nyaman, biaya yang terjangkau, akreditasi dan sebagainya. Namun ada beberapa syarat khusus di mana seorang karyawan benar-benar dapat kuliah dengan nyaman di universitas idaman yang sesuai dengan statusnya sebagai pekerja.

Seperti yang pernah aku sebutkan, latar belakang mahasiswa di kelas karyawan adalah mereka yang sudah di level manajer, supervisor, atau yang baru saja merintis karir. Yang jelas dalam hal aplikasi beberapa mata kuliah sudah kami jalani hingga praktiknya selama bertahun-tahun jauh sebelum kami memutuskan menjadi mahasiswa. Aku ingat ketika kuliah K3, dosenku bercerita panjang lebar mengenai pentingnya terdapat alat pemadam api ringan, padahal kami setiap tahunnnya di latih langsung oleh pihak pemandam kebakaran untuk menghindari terjadinya kebakaran atau paling tidak meminimalisir kerugian akibat kebakaran di perusahaan tempat kami bekerja. Atau ketika aku kuliah Neraca Massa dan Energi, yang ternyata sudah aku terapkan bertahun-tahun di pabrik tempat aku bekerja, hanya saja aku baru tahu kalau perhitungan semacam itu di sebut Neraca massa. Begitu pun dengan praktikum, ketika praktik pengetahuan bahan, kami menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100x untuk mengamati permukaan logam yang sudah di coating, padahal di pabrik, aku selalu menggunakan alat Scanning Electron Microskop untuk mengamati permukaan logam hingga pembesaran 20000 kali. Dosen boleh saja bernyanyi panjang lebar di kelas reguler, tetapi di kelas karyawan, Seorang dosen butuh lebih dari text book tua yang selalu di bawanya.

Perkuliahan kelas karyawan harus memiliki hal-hal yang tidak diperlukan kelas reguler, terutama adalah jadwal kuliah yang tidak biasa. Jika kelas normal kuliah pada hari senin hingga sabtu dengan jam yang masih termasuk dalam jam kerja, maka kelas karyawan di lakukan saat sabtu minggu atau diadakan kelas malam. Jadwal kuliah yang menuntut komitmen tinggi baik dari para mahasiswa, dosen sampai pihak kampus dalam hal penyediaan tenaga administrasi di jam-jam yang tidak biasa itu. Pengalaman ku yang pernah gagal di suatu perkuliahan karyawan di salah satu perguruan tinggi tidak lain karena tidak ada komitmen di pihak dosen yang selalu mengganti jam kuliah menjadi saat jam kerja padahal ia menyadari ia mengajar di program khusus karyawan, di tambah lagi segala jenis administrasi hanya bisa di urus di jam-jam normal, membuat aku hengkang dari kampus itu tidak lebih dari setengah semester.

Gagal di universitas pertama, aku masuk lagi ke program karayawan di universitas lainnya. Kelebihan universitas ini adalah komitmen para dosen dalam hal waktu kuliah. Karena jam kuliah yang terbatas dan hampir tidak ada waktu pengganti maka penekanan untuk komitmen terhadap kewajiban mengajar menjadi sangat penting. Meskipun setelah komitmen dalam hal kuantitas terpenuhi, aku masih berharap peningkatan kualitas terus terjadi.

Masalah komitmen ini kembali menjadi sorotanku untuk melanjutkan studiku. Setelah menggali informasi, aku dapatkan bahwa salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia di bilangan depok, memiliki program ekstensi, yang menurutku ditujukan pada karyawan. Tetapi setelah di selidiki, ternyata sulit meminta para dosen disana untuk -sekali lagi-berkomitmen pada tujuan di selenggarakannya kuliah ekstensi ini.

Komitmen juga dibutuhkan dari pihak DIKTI selaku pengawas perguruan tinggi di Indonesia. Larangan-larangan untuk program kuliah karyawan yang muncul, tidak serta merta menyudahi polemik ini. Adakah Dikti memberikan alternatif bagi para mahasiswa yang tidak memilki biaya untuk melanjutkan kuliah, tidak pula berhasil mendapat beasiswa, selain harus bekerja sambil kuliah. Sekali lagi peranan Dikti sangat diperlukan terutama bagi pekerja yang masih ingin melanjutkan sekolah, agar setelah upaya yang ditempuh, uang yang dikorbankan dan waktu yang terpakai tidak terbuang percuma karena tiba-tiba Dikti katakan ijazah kami tidak dapat di akui.

ITB, UI atau universitas selevelnya boleh saja menyatakan diri sebagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia, tetapi kami karyawan yang masih ingin meng-up grade pendidikan butuh perguruan tinggi yang welcome pada kami, pada pekerja.

Enam bulan sejak aku dinyatakan lulus dari universitas setelah tiga tahun menempuh pendidikan untuk program diploma tiga untuk kelas karyawan, aku menimang-nimang ijazah yang baru satu bulan lalu aku ambil dan masih bertanya-tanya mengenai status ijazah ini di mata Dikti, di mata para panitia penyelenggara penerimaan CPNS, di mata manager HRD perusahaan terkemuka. Lewat lomba blog UII yang di adakan Universitas Islam Indonesia ini aku berharap ada sedikit saja orang yang tahu, bahwa mereka yang sudah bekerja pun masih ingin meningkatkan kemampuan dan keahliannya, dan kami pun punya beberapa gambaran mengenai perguruan tinggi idaman versi kami, versi pekerja.




YOUR WIFE, YOUR HONOR

Baru saja semalam aku menyaksikan salah satu acara yang dibawakan oleh presenter kocak di suatu stasiun televisi. Acara itu itu masih saja sama, penuh lelucon, riang dan menggelitik. Tidak ada yang salah sampai kemudian beberapa kali si pembawa acara membawa istrinya sebagai bahan perbincangan, bukan sebagai nara sumber untuk di explore kelebihannya atau prestasinya, tetapi aku menangkap kesan hanya untuk sekedar di ejek dan menjadi bahan komedian belaka.

Si Pembawa acara menikmati joke yang ia lontarkan, penonton di buat terpingkal-pingkal, tetapi aku tidak. Aku merasakan suatu perasaan miris ketika mendengar si pembawa acara menjadikan istrinya sebagai bahan komedian. Mungkin baginya itu masalah biasa, ia biasa membuat joke bersama istrinya, atau ia tahu betul istrinya tidak akan keberatan, atau ia memang tidak pernah memikirkan semuanya. Bagiku tidak ada satu alasan pun yang bisa membuat seorang pria untuk mengolok-olok istrinya terlebih lagi di depan jutaan pemirsa.



PENYANGKALAN

Seribu kalimat ku tuliskan untuk sebuah pernyataan
"Dia adalah segalanya
Dia adalah hidupku
Aku tidak bisa hidup tanpanya"

Kemudian aku tulis lagi seribu kalimat yang sama
"Dia adalah hidup dan matiku"

Keadaan tetap sama

Ia tetap Jauh

Dan aku menulis lagi

"Aku bergantung padanya"

Tetapi tidak juga membuatku lebih baik

Karena tidak membuatku sedekat yang aku inginkan

Ku tulis kembali kalimat berikutnya

"Aku bahagia bila bersamanya
Jadi izinkan ia bersamaku"

Tapi ia semakin jauh saja

Lalu aku putus asa

Hingga ku dengar Tuhan berkata

"Jika kau sudah tuliskan ribuan kata untuknya
Panjatkan jutaan doa
lakukan segalanya
dan ia tidak kunjung datang
maka ia bukan segalanya
ia bukan hidupmu
Kau bisa lanjutkan hidupmu tanpanya
Dia bukan hidup dan matimu
Kau mandiri dan sejati
Kau mampu membahagiakan dirimu sendiri
Bahkan orang di sekitarmu"

(aku menemukan catatan ini di buku harianku tertanggal 29 Juni 2008, ku publikasikan untuk temanku yang sedang menghiperbola keadaannya sendiri)



KETIKA ORANG AWAM IKUT BERFATWA

Beberapa waktu silam, MUI berencana mengeluarkan fatwa haram merokok,disusul fatwa untuk facebook (hingga aku diundang oleh salah seorang teman, untuk masuk dalam grup menolak fatwa tersebut). Dan kali ini, usul untuk mengeluarkan fatwa haram atas rebonding rambut bagi wanita , foto pre wedding dan ojek perempuan juga sudah menyulut publik untuk ikut beropini.
Yang membuat aku jengah adalah ketika kita dengan pengetahuan terbatas terutama tentang agama, beramai-ramai menolak rencana fatwa haram tersebut . Terlampau asyik dengan facebook saat itu membuat kita tidak bisa terima, kalau "mainan" baru itu diharamkan. Kelak, setelah beberapa bulan pasca munculnya rencana fatwa haram, baru muncul berbagai publikasi mengenai dampak penggunan facebook, bahkan seorang kawanku mengirimkan video berisi puisi yang dibacakan seorang anak, tentang kebiasaan ibunya berfacebook ria yang keterlaluan. Satu hal yang kemudian aku mengerti dari kasus ini adalah kita, manusia sangat sulit mengendalikan diri.
Temanku yang perokok mengeluarkan banyak pembenaran untuk menolak fatwa haram mengenai rokok. dari kekhawatiran banyaknya pengangguran karena pabrik rokok ditutup hingga menyatakan walaupun sudah bertahun-tahun menjadi perokok ia masih dalam kondisi sehat wal afiat.
Aku jadi teringat tentang perbincangan aku dan seorang kawan ketika membicarakan Jalan Baru Juanda di Depok. Aku yang tidak punya kendaraan pribadi sangat jengkel karena JAlan baru Juanda tersebut tidak bisa di akses angkutan umum. Satu-satunya angkutan yang bisa lewat adalah Ojek, sehingga aku merasa diriku di rugikan. Dan Temanku yang kebetulan punya mobil pribadi, merasa senang dengan keadaan sekarang dimana tanpa adanya angkutan umum Jalan Juanda bebas macet. Suatu hal ketika menyinggung kepentingan kita kita akan mudah bereaksi, Begitupun dengan kita yang kadang aku anggap terlalu subjektif pada fatwa-fatwa tersebut.
Aku pribadi lebih senang jika ada diskusi dua arah antara masyarakat dan MUI agar semua pertanyaan-pertanyaan di benak masyarakat ada pencerahan, ketimbang kita menolak fatwa-fatwa tersebut dengan alasan yang kita buat padahal kapabilitas kita tentang ilmu agama yang rendah. Sekali lagi kita sepatutnya berkaca, apakah kita sudah cukup memilki kemampuan untuk ikut berfatwa...???










Ujung Genteng (2nd Entri)

2 Januari 2010

Inilah bedanya bepergian dengan rombongan backpacker dan rombongan kantor. Biaanya jika denagn para backpacker, kami selalu memburu sunrise dan sunset, begitupun rencana kami. Rencananya kami akan lihat sunrise pagi ini, tetapi apa daya, kami baru bangun 06.30. setelah shalat shubuh (yang kesiangan), kami baru menuju pantai ketika jam menunjukkan 06.15, dan matahari sudah tidak malu-malu lagi. Kami kemudian menyusuri pantai. Benar apa yang dikatakan orang, Ujung Genteng adalah aquarium alam. Pantainya sangat jernih, saking jernihnya kita bisa melihat bayangan kita dengan jelas, di beberapa titik ada batu karang besar yang banyak di jadikan area bernarsis ria oleh para pengunjung, sayang beberapa tumpukan sampah terlihat di sekitar pantai, mencemari keindahan alam yang menakjubkan ini.

Tepat pukul 12.00 kami check out. Dengan ojek kami berencana mengunjungi amanda ratu dan Curug Cikaso (ini juga yang membedakan pergi dengan backpacker dan pergi dengan rombongan kantor).
Setelah perjalanan sekitar 15 menit dengan motor, kami pun tiba di Amanda Ratu. Menurut cerita dulu Amanda Ratu adalah villa milik keluarga mantan Presiden Soeharto. Di Amanda Ratu kita bisa melihat duplikat Tanah Lot yang ada di Bali (Sayang memori card Ayu, yang didalamnya banyak foto Amanda Ratu, termasuk foto kami ketika menyusuri Ujung Genteng terserang virus dari card reader Jono), setelah menikmati Amanda Ratu dan shalat di masjid yang berada di dalamnya, kami segera menuju Curug Cikaso. Sebelumnya kami mampir ke sebuah gubug tempat keluarga pembuat Gula kelapa (gula merah). menurut bapak pembuat Gula kelapa, gula yang ada di Jakarta sudah tidak asli lagi alias sudah di tambah zat lain seperti ubi (membuatku berpikir, apa yang masih asli di jakarta ini). Gula kelapa asli ini seharga 10000 rupiah per kilonya. Tidak tega dengan keadaan keluarga pembuat gula kelapa ini, Ayu membeli 2 kilogram Gula kelapa yang kemudian di masukkan ke dalam ranselnya (:D). Puas mengamati pembuatan gula kelapa kamu meluncur ke curug Cikaso. Jalanan yang cukup lebar dan baik membuat motor di pacu dengan sangat kencang oleh Bapak Ojek, membuat aku mengeratkan genggamanku pada panel motor, sesekali menengok ke belakang untuk memastikan Ayu dan Yelni baik-baik saja.
Di Amanda Ratu

Tidak seperti yang aku duga, ternyata dengan motorpun perjalanan cukup jauh. setelah 30 menit di atas motor, kami tiba di pos Curug cikaso, dan untuk mencapai curug, kami masih harus melanjutkan perjalanan selama 5 menit dengan perahu. Harga sewa perahu sebesar 75 ribu untuk setiap perahunya, dan perahu itu berkapasitas 10 orang. karena kami cuma bertiga, maka kami bergabung dengan grup kecil lainnya sehingga jumlah kami menjadi 7 orang.
Seperti di Ujung Genteng, curug pun dipenuhi pengunjung. curug ini memang indah, tetapi menurutku lebih menakjubkan curug di Cianjur.
Curug Cikaso


Kami sempat mkan siang (yang terlambat) di pos curug, menjadi makan paling memuaskan selama perjalanan. Selain karena enak dengan menu ikan tongkol dan sayur sawi ditambah sambal yang maknyusss, kami hanya perlu membayar 5000 rupiah, padahal gaku punya acara nambah segala.
Selesai makan, kami segera kembali ke terminal Surade untuk mengejar Bus MGI jurusan Bogor, karena menurut informasi Bus MGI ke arah Bogor terakhir berangkat jam 16.00, atau nanti jam 21.00. Sesampainya di Terminal Surade, Bus MGI sudah kosong, terpaksa kami kembali menggunakan angkutan Elf untuk ke sukabumi terlebih dahulu kemudian lanjut ke Bogor.
hingga 2 km pertama, elf berjalan sangat lambat, penumpang sepi. Kami bertiga dari awal sudah sepakat untuk duduk bersama di depan. Sesekali ada ojek yang mengejar elf kami, untuk mengantar penumpang. setelah elf penuh, barulah elf menunjukkan jati diri sesungguhnya, melaju kencang sekencang-kencangnya, yang lebih parah hari sudah gelap, kami yang duduk didepan, tidak dapat melihat tikungan ke kiri atau ke kanan atau lurus saja. Menurut kami hanya Tuhan dan supir Elf yang tahu ke arah mana tikungan berikutnya.
Pukul 12 malam, kami baru tiba di bogor, untungnya kakakku ada yang kost di bogor, sehingga dari terminal bogor kami berjalan kaki ke arah Bintang Pelajar, dan untungnya lagi masih banyak warung makan yang buka di sekitar terminal Baranangsiang sehingga suasana sedikit terang. Sepiring Nasi Goreng dan Segelas Teh manis menutup perjalan kami hari itu.

3 Januari 2010

Pukul 04.30 pagi, kami sudah bangun, bersiap untuk pulang kembali ke depok. Di sekitar Taman Topi kami menikmati sarapan pagi berupa Ketupat Padang. Di kereta kami terkantuk-kantuk, tidak menyadari kaalu ternyata kereta sudah penuh. Beruntung kami mendekap backpack dan day pack kami erat-erat sehingga kondisi kami yang kelelahan tidak dimanfaatkan para pencoleng yang banyak berkeliaran di kereta api.
Setelah kami bertiga melakukan perjalanan yang hampir saja jadi rencana abadi akhirnya kami selesaikan trip ini denagn aman dan lancar. Ayu turun di satsiun depok baru, sedangkan Aku dan Yekni berpisah di Pondok Cina



Ujung Genteng (1st Entri)

Setelah cancel berkali-kali, akhirnya jadi juga aku menyambangi Ujung Genteng. Bersama Ayu dan Yelni teman perjalananku kali ini. Berbekal catatan Perjalanan milik Joko yang ia tulis di facebook kami menelusuri Ujung Genteng, 120 km dari sukabumi.
Awalnya kami berencana untuk berangkat pada malam tahun baru yaitu tanggal 31 desember, akan tetapi setelah di timbang-timbang dan khawatir jalanan akan macet karena perayaan tahun baru, kami putuskan untuk berangkat esok pagi. Kami akan naik kereta ke Bogor menggunakan kereta pertama, karena itu kami janjian untuk bertemu di Stasiun Depok Baru pada pukul 05.30 pagi. Untuk memastikan kami dapat tempat di penginapan, kami menelepon beberapa penginapan. Untungnya masih ada kamar di villa pak Ujang seharga 200 ribu rupiah semalam. Untuk memastikan kami tidak tersesat maka kami print out catatan perjalan Joko.

1 Januari 2009

Awal perjalanan kami sudah tidak lancar, padahal belum sampai mana-mana. Jam 05.20 Ayu menelepon bahwa ia baru saja bangun alias kesiangan, dan sialnya dompetku ketinggalan di rumah. Rencana awal berangkat jam 05.30 terpaksa mundur satu jam. Akhirnya kami naik kereta ke bogor pukul 06.30.
pukul 07.00 kami sudah tiba di Stasiun Bogor, melanjutkan perjalanan ke Terminal Barangsiang. Seharusnya kami mencoba mencari adakah bus Bogor-surade di Terminal, akan tetapi karena kami terpaku pada catatan perjalanan Joko, maka kami tetap naik elf ke Sukabumi. Tidak di nyana, dalam perjalanan ini, keluarlah semua keluh kesah yang selama ini di simpan, perjalanan diisi dengan membahas masalah seputar kantor, rekan-rekan di kantor. Acara gosip di elf membuat perjalanan terasa singkat.

Perjalan kembali terhambat lagi karena Yelni belum mengambil uang, dan uang yang sudah aku siapkan "dipalak" ibuku sebelum berangkat. kami menelusuri terminal sukabumi untuk mencari ATM. Sukur tidak begitu lama kami sudah menemukan ATM bersama.
Dari Terminal Suka Bumi kami naik angkot ke Lembur Situ. Di terminal lembur situ ini, aku sempat kesal pada pada petugas terminal yang meminta uang peron seharga 1500 rupiah per orang, tetapi tidak ada karcis atau tanda terima retribusi yang menyatakan pungutan itu bukan untuk pribadi alias pungutan liar. Ada satu elf ke Surade yang sudah penuh, tetapi karena khawatir sampai Ujung Genteng kemalaman, kami nekat ikut elf ini. Jadilah Ayu dan Yelni berbagi satu kursi, sedangkan aku cukup beruntung walaupun tidak bisa di sebut nyaman juga. Karena hari itu ramai, ongkos elf tiba-tiba melambung sekitar 10% dari yang di tulis Joko, tetapi karena penumpang lain pun membayar harga yang sama, dan menurut penjelasan seorang bapak di sebelahku bahwa jika ramai tarifnya naik, akhirnya kami rela juga membayar 25000 perorang.
Ini adalah Jalur Setan, begitu kata Ayu. Perjalanan Sukabumi Lembur Situ memang sangat menantang, Jalur sepanjang 120 km itu di dominasi oleh belokan ekstreme, membuat kami harus berpegangan kuat-kuat, terlebih Yelni dan Ayu yang harus berbagi kursi. Tikungannya yang membuat perut kami seperti di kocok-kocok ini, tidak membuat supir elf menurunkan kecepatannya, jadilah Ayu menjulukinya Elf Setan.
Sekitar 20 km sebelum Surade, Yelni sudah tidak kuasa menahan isi perutnya untuk tidak keluar melalui mulut alias muntah setelah sebelumnya penumpang di sebelahnya sudah muntah duluan. Untung saja, ada fasilitas plastik gratis dari elf bagi yang mabuk perjalanan. Setelah Yelni, berturut-turut penumpang di belakangku turut mabuk perjalanan, lalu orang di depanku, dan entah berapa lagi orang yang sudah mabuk.
Tepat Zuhur kami tiba di Surade, Setelah Shalat Zuhur kami melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng. saking sedikitnya penumpang dari terminal Surade, si Sopir angkot sampai bersedia menunggui kami makan siang. beruntung karena harga makan sinag kami masih normal. Perjalanan dari Surade ke Ujung Genteng ini, ada suatu bangunan mirip monumen dengan bentuk Rudal, Si Sopir Angkot menjelaskan bahwa ada beberapa daerah di Ujung Genteng yang akan di ambil alih angkatan udara, untuk dijadikan pusat peluru kendali karena letak ujung genteng sebagai bentuk pertahanan keamanan atas kedaulatan negara, akan tetapi rencana tersebut masih ditentang penduduk lokal setempat. Menjelang Ashar kami tiba di penginapan Pak Ujang. Ternyata kamar kami lumayan bersih, Sebuah tempat tidur besar di tambah tempat tidur tambahan, dan kipas angin membuatnya juga cukup nyaman untuk ditempati tiga orang.
Setelah istirahat dan shalat ashar kami menyewa ojek untuk ke tempat penangkaran penyu, melihat pelepasan tukik atau anak penyu ke pantai yang biasanya di lakukan jam 17.00. Tidak seperti yang aku duga, ternyata di sana sudah banyak orang, mungkin karena liburan. Ujung Genteng yang aku pikir hanya didatangi kaum Backpacker karena jalurnya yang sulit, ternyata juga di kunjungi kaum borju. Kami menikmati pantai sambil menunggu waktu pelepasan tukik. pukul 17.15 baru para petugas keluar membawa ember berisi anak penyu yang baru berumur satu hari. Orang-orang yang sebelumnya asyik dengan rombongannya masing-masing bergegas menghampiri penyu. setelah di beri aba-aba oleh salah seorang petugas, penyu pun di lepaskan, pengunjung bersorak sorai memberi semangat pada tukik-tukik itu agar dapat mencapai laut. beberapa tukik berhasil mencapai bibir pantai, yang lain ada yang terbalik, ada yang di hempaskan ombak sehingga kembali ke pantai. Belum sampai laut saja perjuangan Tukik untuk bertahan hidup sudah sulit, pantas saja menurut petugas, dari 100 tukik yang di lepas, hanya satu yang mampu bertahan hidup.
Sebelum maghrib kami sudah kembali kepenginapan. Setelah Shalat Maghrib kami mencari makanan, karena tadi siang kami lupa memesan pada pak Ujang. Untunglah tidak Jauh dari Villa Pak Ujang, ada kedai yang menjual Soto Mie dan sebelahnya ada warung sehingga aku bisa minta tolong pada Ibu warung untuk membuatkan Mie Instant. Lagi-lagi aku beruntung karena Soto Mie yang dipesan Yelni dan Ayu jauh dari harapan sehingga mereka makan sedikit sekali.
Selesai menyantap makan malam, kami kembali ke penginapan. Karena masih suasana Tahun Baru, beberapa pengunjung masih menyalakan kembang api, ribut sekali suasananya dan sedikit mengganggu waktu istirahat.

CERITA DI KERETA


sekitar tahun 2004 silam, aku pernah bekerja di kawasan Pluit. Dari depok angkutan paling cepat adalah kereta. Hingga sat itu berdesakan di kereta mnejadi rutinitas sehari-hari. Kalau ada yang pernah merasakan berdesak-desakan di kereta pastilah mengerti bagaimana rasanya. Bukan hanya cerita tentang tumpukan manusia di gerbongnya, tetapi cerita konyol lainnya seputar petualangan di dalam kereta.

Mau naik Kereta, belilah karcis..!!

Suatu pagi, angkot yang aku naiki berjalan bagai siput, lambat... lambat sekali. satu persatu gang di kawasan depok II di intip oleh si sopir angkot, padahal jarak dari satu gang ke gang lain di kawasan ini tidak lebih dari 10 meter. Jadilah waktu tempuh rumah ke stasiun depok bertambah 20 menit dari biasanya.
Aku bergegas, dari kejauhan aku dengar suara yang biasanya menandai kereta akan datang. Aku berlarian, pontang-panting mengejarnya. Dan si kereta pun muncul dihadapanku, padahal saat itu aku masih di luar peron, dan belum membeli karcis. Meski demikian aku berkeyakinan kalau aku tidak boleh ketinggalan kereta ini. Maka dengan semangat ku terobos para penjaga stasiun, tidak ada yang aku pikirkan selain kereta. Bahkan tidak peduli pada karcis yang tidak aku beli.
Tidak seperti biasanya yang padat, aku beruntung kereta ini sangat lengang untuk ukuran kereta ekonomi jurusan jakarta Kota pada pukul 06.00. Biasanya masuk gerbong saja sudah sulit setengah mati. Lebih menggembirakan lagi, ketika di stasiun kalibata aku sudah dapat tempat duduk, what a lucky day!!! hatiku berbunga.
Tetapi bunga di hatiku layu seketika setelah melewati stasiun manggarai
kereta tak kunjung naik ke lintasan layang. Seharusnya setelah stasiun manggarai, kereta akan masuk stasiun cikini yang merupakan stasiun layang. ohh ala... apa yang terjadi, kereta apa yang aku naiki.
Setelah momohon penjelasan dari beberapa orang dalam kereta, barulah aku sadar ternyata, yang aku naiki adalah kereta Jurusan tanah abang, padahal aku mau ke kota.
Sungguh sial hari ini, aku terpaksa turun di stasiun berikutnya, dan melanjutkan perjalanan dengan busway.
Aku pikir semua karena hari ini aku curang. ingin menikmati fasilitas tapi ogah membayar, atau menciptakan pembenaran untuk mangkir dari kewajiban. hmm... jadi pelajaran bahwa hukum ada uang ada barang berlaku juga unutk urusan kereta.

Untung sepatu yang hilang, bukan kakimu..!!
Butuh perjuangan ekstra untuk dapat masuk kereta ekonomi Jurusan Jakarta dari stasiun depok baru pada jam kerja. Kalau ada yang menyebut aku lebay, silahkan coba sendiri. Hari itu, setelah aku menerobos pintu kereta yang terbuat dari tubuh manusia, aku merasa kehilangan sesuatu. setelah ku amati ternyata sebelah sepatuku hilang, terlepas dari kkiku sendiri.
" permisi pak, sepatu saya hilang sebelah". kataku
Bapak-bapak yang mendengar keluhan ku tertawa dan hanya mengatakan
"Waduh neng, untung hanya sepatu, coba kalau kaki yang hilang"
Huh... menyesali kebodohanku. Unutk berdiri saja sulit, apalagi mencari sepatu. Akhirnya pasrah saja. Jadilah sebelah kakiku hanya dibungkus kaos kai hitam. Pikiranku menerawang menyusun rencana untuk membeli sandal jepit di kota nanti.
memasuki stasiun cikini, kereta mulai lengang. dan samar-samar ku lihat benda hitam yang aku kenali sebagai sepatuku terkulai di dekat pintu kereta. Bergegas aku meraihnya, ku coba tepis rasa malu karena beberapa orang (banyak orang tepatnya) menyadari kalau aku memakai sebelah sepatu sejak tadi. Aku hibur diri sendiri dengan sugesti setidaknya aku tidak perlu keluar uang untuk beli sandal jepit. Sejak itu aku putuskan untuk menebalkan muka hingga aku lenyap dari stasiun Kota.

Cari Saja Perbatasan Gerbong 4 & 5, Maka Kamu Aman

kenapa harus di perbatasan gerbong 4 dan 5?. karena di perbatasan itu tidak ada pintu penghubung yang menghubungkan gerbong 4 dan 5, sehingga beberapa orang duduk beralaskan koran, atau ada ibu-ibu yang sengaaj membwa kusi lipat kecil. Untuk lebih nyaman, mereka menutup pintu samping kereta dan mengganjalnya dengan batu. sehingga orang tidak bisa masuk dari pintu tersebut. Jadilah orang-orang yang disana aman, atau sedikit lebih nyaman dari pada yang berdesak-desakan sambil berdiri.
Aku mengetahui komunitas ini tanpa sengaja. Dari seorang ibu yang duduk di kursi lipat aku dapatkan cerita ini. Rupanya mereka yang ada di situ adalah orang-orang yang setiap hari naik kereta, selama bertahun-tahun. Pengalaman juga yang mengajarkan untuk survive di kejamnya kereta jabotabek, sehingga setiap hari mereka bertemu di perbatasan gerbong 4 dan 5, menciptakan tempat yang sedikit lebih nyaman (walau juga terkesan egois). Dan karena kenal bertahun-tahun, maka komunitas ini mirip suasana rapat. Ada perbincangan, ada cemilan yang kadang di bawa seseorang, bahkan kadang ada konser live dangdut.
Sejak saat itu, jika pulang kantor, aku selalu usahakan bertemu mereka di sana, di gerbong 4 yang berbatasan dengan gerbong 5.
Tak sampai 6 bulan dan itu sudah 6 tahun yang lalu, aku sudah tidak lagi bekerja di Pluit, kadang aku bertanya, apa mereka masih disana?

Pencuri di kereta, Terkutuklah kalian...!!

Kalau yang ini cerita di tahun 1999. Aku hendak ke rumah sakit dengan ayahku untuk berobat. sampai di Tanjung Barat, sadarlah ayahku kalau dompetnya telah raib dari kantongnya. Padahal itu uang untuk berobat. Hendak pulang pun ongkos sudah tidak ada. Lalu ayah putuskan untuk meminjam pada warga sekitar stasiun, agar aku tetap bisa ke dokter. Sudah susah payah ayah meyakinkan sorang warga yang tampak berada untuk meminjamkannya uang dengan jaminan KTP, dan menjelaskan kalau hari ini anaknya harus cek up di rumah sakit, tetap tidak membuat orang itu percaya. Tetapi ia sedikit menolong. Ia berikan sejumlah uang pada ayahku dan berkata
"Bapak pulang saja dulu, ini saya kasih ongkos, ke rumah sakitnya besok saja"
Ayah menatap uang itu, masih lebih baik dari pada tidak bisa pulang sama sekali. Maka hari itu pencuri menggagalkan cek up ku ke dokter. Aku bertanya-tanya, tidka bisakah melihat-lihat orang yang hendak di curi, apa ia tidak lihat wajah ayahku ayng khawatir pada penyakit anaknya. Sepanjang pulang aku yang tengah sakit mengeluarkan sumpah serapah untuk pencuri terkutuk itu.




Sekali Saja, Jadilah Minoritas

Tanpa kita sadari, ternyata terlalu banyak hal-hal yang kita lakukan yang menyakiti seseorang. Begitu seringnya kita tidak menghargai orang lain. Atau entah berapa kali kita mencemooh orang lain. dan kita terlampau sering menertawakan seseorang karena berbeda dar kita. Semua perilaku itu ada karena kita selalu menjadi mayoritas, menjadi bagian yang sempurna dari lingkungan kita, sehingga kita tidak ubahnya dengan dia atau mereka.

Sekali saja, Pergi ke tempat dimana kita akan ditelisik dari ujung kaki hingga ujung rambut. Pergi ke tempat dimana orang akan berbisik-bisik membicarakan pakaianmu. Pergi ke tempat, selain tempat di mana kita menjadi yang mayoritas.
Karena di tempat itu, ketika kita menjadi minoritas, kita akan memohon untuk juga dihargai. Karena di tempat itu kita kan mengerti bagaimana rasanya tidak dihargai. Atau mungkin ditempat itu, kita akan menyaksikan sendiri, bagaimana orang tetap menghargai kita meskipun kita bukan golongan mereka.
Ketika aku ke thailand Juni lalu, aku merasakan apa yang disebut menjadi kaum minoritas. dalam satu gerbong monorail menjadi satu-satunya wanita berkerudung, meskipun demikian ketika waktu shalat tiba, mereka (orang thai) memberikan aku tempat bersih untuk melaksanakan shalat, memberitahu ke mana arah barat, dan susah payah mencarikan makanan halal untukku.
Di tempat dimana kita jadi minoritas, kita akan menangis karena tidak dihargai atau menangis karena terharu oleh pengertian orang lain.
Mungkin inilah yang aku sukai dari traveling. Keluar sejenak dari zona nyaman, untuk lebih memahami kehidupan bukan dari sekedar kata-kata, tetapi juga tindakan nyata.

Yogya : My First Solo Backpacking (3rd Entri)

26 Desember

Ini hari terakhirku di Yogya, maka aku ingin memaksimalkan perjalanan hari ini. Setelah bertransaksi dengan supir taxi motor, maka dicapailah kesepakatan ongkos 80000 rupiah untuk keliling Yogya dari Jam 07.00 pagi sampai 15.00.
Tujuan pertama adalah Sentra Kerajinan Gerabah di Kasongan, Seperti Kota Gede, toko kerajinan gerabah berderet-deret sepanjang Jalan. Dari ukuran kecil hingga patung yang besar. harganya pun relatif murah, sehingga tempat ini bisa menjadi alternatif untuk berbelanja.Bukan hanya barang jadi yang bisa kita lihat, proses pembuatannya pun bisa kita saksikan dari pembentukan gerabah dari tanah liat hingga penyelesaian tahap akhir seperti pengecatan.





Puas melihat-lihat Kasongan, tujuan berikutnya adalah Taman Sari. Taman Sari ini sebetulnya berada di sekitar Kraton Yogya, akan tetapi ketika keliling Kraton pada hari pertama, aku tidak sempat mengunjungi tempat ini. Konon, Taman Sari adalah tempat pemandian bagi para Putri Kraton. Tempatnya lumayan luas, tetapi sayang tidak dirawat dengan baik menurutku. Akan tetapi tidak mengurangi minat pengunjung untuk menyusuri tempat ini. Di dalamnya ada sebuah kolam renang Besar, kemudian ada menara yang katanya merupakan tempat Sultan mengawasi Putri-putrinya. Jika bukan karena menyusup ke rombongan Taman kanak-kanak, aku mungkin tidak akan pernah sampai melihat Masjid yang berada di bawah tanah ini. Sekilas Masjid ini hanya seperti lorong yang melingkar. Untuk masuki tempat ini, kita keluar dari Kompleks Taman Sari, Kemudian menyusuri Kampung di sekitarnya hingga akan di temukan Pintu Masuk lainnya yaitu sebuah Terowongan.


Tujuan berikutnya adalah Monumen Yogya Kembali, menurut supir taxi, masyarakat Yogya menyebutnya Monjali. Di Monjali ada sebuah dinding besar dan tinggi, di mana di dinding itu dituliskan nama -nama pahlawan yang gugur di medan perang, juga terdapat sebuah cuplikan puisi Chairil Anwar "Antara Karawang Bekasi". Di depan monumen juga terdapat beberapa arena mainan anak seperti Flying Fox. Diorama-diorama seputar perjuangan rakyat Yogya banyak mengisi monumen ini, dilengkapi dengan fasilitas audio.


Dari Monjali aku meneruskan perjalanan ke Desa Wisata Ketingan, yang terletak di wilayah Sleman. Wisata utama di Ketingan adalah wisata flora dimana di desa ini banyak terdapat burung Kuntul yang sudah jarang terdapat di Pulau Jawa. Untuk menikmati wisata flora ini, menurut warga setempat sebaiknya pada sore hari. sayang aku tidak punya waktu banyak, hingga aku hanya bisa melihat sesekali burung Kuntul itu terbang di antara pohon-pohon tinggi. Selain itu kita juga menikmati suasana alam pedesaan yang kental.

lelah keliling Yogya aku beristirahat di Alun-alun kota Sleman. Makan siang dialun-alun di sebuah warung sego kucing merupakan makan siang dengan biaya paling murah selama perjalananku di Yogya, dimana nasi dengan lauk tempe orek, telur dadar dan satu buah gorengan di tambah teh manis hangat hanya ku bayar 4500 rupiah.

Yogya : My First Solo Backpacking (2nd entri)

25 Desember


Rencananya pagi-pagi sekali aku menuju Candi Borobudur, karena sudah bertekad naik sampai stupa teratas borobudur tanpa harus gosong. Taxi motor datang jam 6.15, langsung menuju terminal Jombor, sebelumnya si sopir taxi menawarkan harga tour sebesar 150 rb rupiah untuk tour selama 8 jam, tetapi kau hanya tersenyum dan bilang "gak usah mas, antar saya saja ke terminal Jombong, biar nanti saya naik Bis"
dari terminal Jombor naik Bis Cemara Tunggal yang akan mengantar sampai Candi Borobudur. Masih pagi sekali, penumpang sepi. Sebelum berangkat Asti dan Sopir Taxi sudah memberitahuku, kalau tarif Jombor-Borobudur sebesar 7000 rupiah. Sialnya, ditengah jalan si kenek bis bertanya sesuatu dalam bahasa jawa, aku yang emang nggak ngerti , dan aku langsung saja mengatakan aku nggak ngerti. Karena alasan itu uang kembalian sebesar 3000 rupiah tidak dikembalikan padaku. Dengan gaya yang menyebalkan si kenek bis mengatakan
"Yang 7000 itu bagi bapak ibu penjual itu, mahasiswa atau orang yang memang setiap hari naik bis ini, lah kalau seperti mbak ini tarifnya 10000, mas yang didepan itu juga bayar 10000"
Berbekal pengalaman ini, ketika perjalanan pulang, aku membayar 7000 rupiah, dan langsung pura-pura tidur. Perjalanan dari Jombor ke borobudur sekitar 45 menit jika lancar.
Dari terminal Borobudur, kita bisa jalan kaki sepuluh menit, atau naik becak denagn membayar 5000 rupiah.
Jam masih menunjukkan pukul 07.00 pagi. belum terlalu ramai, tetapi sejumlah wisatawan sudah datang, tiket masuk candi borobudur sedikit lebih mahal dari Prambanan yaitu 22500 rupiah. Saat aku mengunjungi Borobudur, banyak terdapat perbaikan sedang dikerjakan, beberapa batu dilepas dari susunannya untuk dibersihkan. membuat perjalan sedikit terganggu.

Untuk solo traveler, menyewa seorang guide tentu sangat memberatkan kantong. Maka sejak dari Kraton di hari pertama aku menerapkan sistem "nebeng". Mengikuti rombongan yang jumlahnya cukup besar sehingga mereka tidak menyadari ada penyusup di dalamnya. dengan sistem ini, aku bisa mendengarkan cerita dari guide wisata tanpa keluar uang... yiipppieee...!!!. Seperti juga di borobudir ini. beebrapa kali aku menyelinap ke dalam rombongan tertentu utnuk mendengar cerita pemandu wisata mengenai candi ini.
Sebagai candi budha, tak terhitung banyaknya patung budha, tetapi sayang sebagian banyak yang sudah rusak, terutama kehilangan kepala, Disayangkan untuk warisan budaya semegah Candi Borobudur.

Tepat tengah hari, aku sudah kembali ke Yogya. Karena aku pergi tanpa itinerary, jadilah aku kelimbungan kemana lagi tujuan selanjutnya. Untungnya, ini di Yogya, yang di tempat wisata yang nggak pernah sepi. Di setiap halte Trans Yogya, ada informasi mengenai tempat wisata yang bisa dikunjungi, berikut transportasi yang bisa digunakan. Setelah membaca, dan memperkirakan tempat yang mungkin untuk dituju, aku putuskan untuk mengunjungi Kota Gede, Sentra Kerajinan Perak. Cukup dengan naik trans Yogya dari Malioboro denagn ongkos 3000 rupiah, turun di halte kehutanan, nyebrang dan Tampaklah Toko Perak yang cukup besar Tom's Silver yang menyambut kedatanganku

Toko perak dikawasan ini tidak ada putus-putusnya, setiap rumah yang berbaris menyatakan diri sebagai toko perak 925 yang artinya menjual perak dengan kemurnian 92,5%. Tetapi yang menjadi tujuan utamaku bukan tokonya, melainkan workshop untuk melihat bagaimana para pengrajin bisa menghasilkan produk yang katanya diekspor ke Jepang sampai ke Eropa. Tidak semua toko yang ada memilki workshop. tom's Silver memiliki workshop, namun saat aku datang mereka tengah beristirahat. Aku terus menyusuri kawasan ini hingga melihat plang MD silver yang memiliki workshop. Yang aku kagumi dari pengrajin disini adalah pada umumnya mereka sudah bekerja puluhan tahun. Di sini kita bisa membeli beragam jenis perhisan perak, jika perak 925 masih terlalu mahal, maka pemilik toko akan menaarkan produk imitasi,denagn harga yang sangat murah, akan tetapi jika ini masih mahal pun kita bisa mendapatkan pelajaran berharga tentang cara membuat benda seni tersebut.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.30, ketika trans Yogya yang membawaku dari kota Gede tiba di sekitar Benteng Vredeberg, rupanya benteng masih buka dan pengunjung pun masih ramai. Sesuatu yang tidak akan kita dapatkan di Jakarta yang pada umumnya Museum atau semacamnya sudah tutup sejak pukul 3 sore. Hanya dengan 750 rupiah saja kita sudah bisa masuk ke dalam benteng ini. Benteng ini lumayan luas dan bersih serta asri dibandingkan dengan Museum Fatahillah di Jakarta. Didalamnya terdapat diorama seputar sejarah kota Yogya.







Yogya : My first Solo Backpacking (1st entri)

Biasanya traveling akan seru kalau bersama-sama, narsis bersama, makan bersama, cape juga masih sama-sama. Tapi tiba-tiba terpikir untuk sekali-kali nyobain traveling sendirian. gimana ya...??

Akhirnya, setelah ditunggu dua tahun, baru kesampaian menapaki Yogya. temanku di yogya sampai bilang " gak ada yang mau nemenin kamu ke yogya, karena semua orang jakarta sudah pernah ke yogya"
Bukan statement yang salah, Karena Yogya adalah destinasi yang paling dituju untuk study tour pelajar. Dalam sejarah hidupku menjadi pelajar, setidaknya ada dua kesempatan study tour ke Yogyakarta. Pertama, kelas tiga SMP, perpisahan kelas tiga ditahun 1998, tapi waktu itu aku putuskan tidak ikut, karena terbayang biaya masuk SMA yang tidak sedikit. Kesempatan kedua kelas IV SMA(kelas IV, iya aku SMA di SMAKBO yang sampai 4 tahun, ajibb kan...). Tujuan Study Tour Jawa Bali, tetapi aku dengan berbesar hati akhirnya memutuskan untuk tidak ikut, karena rencana ikut les untuk UMPTN yang dipastikan tidak murah (walau akhirnya gak ikut UMPTN juga). setelah lulus SMAKbo, kebetulan aku langsung bekerja, hingga kemudian yang tidak ada adalah waktu.
Dan libur natal kemarin adalah kesempatan emas. Libur 4 hari, habis gajian, dan isu ada bonus akhir tahun yang diprediksi lumayan, membuat aku membulatkan tekad untuk berangkat ke yogya.
Traveling ke yogya ini juga ku jadikan percobaan situs www.hospitalityclub.org yang
katanya ampuh untuk numpang akomodasi. sebulan sebelum keberangkatan aku hubungi member HC yogya, mencari tahu siapa yang kira-kira bisa nge-host in aku. minggu pertama jawaban yang aku dapat adalah member yang tidak bisa ng-hostin karena akan ke hongkong liburan natal. setelah itu sepi. Masuk ke minggu kedua baru ada jawaban yang positif dari member HC yogya, Asti dan suaminya Bambang. yiippiiee berhasil...!!
Niat awal untuk bersolo karir, naik kereta ekonomi... tapi ditengah jalan, rencana berubah, sempat ada beberapa teman yang mengajak pergi bersama, kemudian ada teman sekantorku, Jono yang juga mau balik ke Gombong. setelah mendapat nasihat dari Jono, maka gagallah naik kereta ekonomi , Yogya ditempuh dengan Bus ekonomi "Sumber Alam" seharga 60 rb.

Tanggal 23 Desember

Bis mulai jalan pukul lima sore, padahal jadwal jam 15.30 (biasalah...loh telat kok biasa). Perjalan lancar, sampai kami berhenti di sebuah rumah makan, untuk mengisi perut dan sholat Isya. Menyebalkan makan disini karena harganya mahal, Pop mie saja yang cuma 4000 rupiah dibandrol 7500 disini, tetapi apa boleh buat, demi perut yang harus tetap fit untuk 3 hari ke depan, ku ambil setengah piring nasi, sedikit sayur, dan sedikit tempe orek ditambah segelas Es teh manis yang semuanya bernilai 13000. Sampai pantura, macet karena ada beberapa perbaikan jalan . Yang menarik dari pantura adalah rumah makan yang didepannya berjejer wanita-wanita cantik bertank top ria, membuat Jono tidak bisa tidak menoleh ke luar. Bibirnya terus berkata Astaghfirullah, tetapi kepalanya sudah di patok tidak bisa lagi menoleh ke depan

Tanggal 24 Desember

sekitar pukul 03.00, kami sudah sampai di Gombong, kampung halaman Jono. dan ia pun pamit turun, tidak lupa memberi pesan untuk hati-hati. Jantungku mulai dag-dig-dug, bisakah aku selesaikan misi ini, tetapi akhirnya aku tidak peduli, rencana sudah matang, aku hanya mohon perlindungan Allah.

Jam 07.30, Bus baru tiba di Terminal Giwangan Yogya, sesuai pesan Asty, aku harus naik bis dari jalur 15. tetapi jalur itu dimana? Aku teliti keadaan dari sebuah masjid, sekalian istirahat dan membersihkan muka, dari masjid baru terlihat bagian-bagian lain terminal, tulisan Jalur 1,2 dll. Aku segera menuju jalur 15, untuk ke rumah Asty, tetapi sebelumnya, sarapan dulu dengan nasi Goreng buatan Orang Yogya, seharga 5000 rupiah.
Aku turun di Mirota Godean, dari sana, Asty pesan naik becak dan minta diturunkan di alamat yang dia berikan, seperti yang sudah diingatkan, jika terlihat asing, maka tarif angkutan (bahkan sekkelas becak Jadi mahal). Untuk jarak gak lebih dari 200 m, aku harus merogoh 10000. Tetapi yang aku naiki bukan sembarang becak. Bentuknya seperti becak dijakarta, sopir dibelakang, tetapi tiba-iba... ggrrrrrmmmm... suara mesin dihidupkan,... loh ini ojek becak toh...???
Didepan rumah Asty, aku disambut hangat, ia dan su
aminya adalah orang-orang yang bersahabat. Mereka memberi petunjuk bagaimana Yogya pada umumnya, termasuk informasi tentang taxi motor ini

Yogya memang daerah wisata, tetapi sayang, untuk traveler yang tidak membawa kendaraan sendiri, transportasi menjadi semacam benda asing. Maka Ojek taxi ini alternatif yang lumayan bagus. Namanya juga taxi, maka kita bisa menghubungi kantor pusatnya, minta dijemput ditempat kita, dan kita kan segera jalan-jalan keliling Yogya. Tarifnya adalah 10000 rupiah untuk wilayah yang masih didalam ring road, diluar itu maka harus ditanyakan dulu pada sopir.
Untuk Pemanasan aku memilih jalan-jalan sekitar keraton, masuk kraton (yang ternyata cuma sampai pendoponya doang), ke museum kereta (yang isisnya berbagai macam kereta kuda yang dipakai sultan), ke toko-toko batik sekitar keraton, sampai ke studio dagadu.


Selepas Zuhur, aku langsung menuju Candi Prambanan, untuk ke candi prambanan, bisa ditempuh dengan trans Yogya dengan tarif 3000 rupiah. Untuk masuk kawasan Candi Prambanan kita membayar tiket masuk seharga 20000 rupiah. Di dalam kompleks candi terdapat papan berukuran besar yang menunjukkan efek gempa yang terjadi di Yogya beberapa tahun lalu terhadap Candi Prambanan, Pagar besi juga mengelilingi tiga candi utama di prambanan, karena dikhawatirkan akan semakin merusak candi tersebut.
Ternyata didalam komples candi prambanan juga terdapat candi Sewu dan Candi Lumbung, tetapi sayang, kedua candi lainnya tidak diminati wisatawan.



Untuk urusan makan, seperti yang kita tau, semakin berada di daerah wisata, harga yang ditawarkan semakin tidak masuk akal, aku sendiri merencanakan makan di tempat luar kompleks candi, apa daya, perut susah diajak kompromi, hingga siang itu aku makan nasi goreng (lagi...???) di sentar makanan dan souvenir Prambanan.


HAPPY BIRTHDAY GREETING

Lucu... waktu deretan pesan dinding memenuhi dinding Facebook-ku ketika tanggal 2 november lalu. Yup... itu bertepatan dengan hari ulang tahunku. Nggak tahu kenapa, deretan pesan itu menjadi amat berkesan karena datang dari orang-orang yang ada dalam hidupku. seketika itu juga aku langsung terpikir untuk memajang pesan dinding itu ke dalam blog-ku. Namun setelah sekian lama baru sekarang aku bisa merealisasikan niat itu. Ini adalah sebagian pesan dinding ucapan happy birthday yang masuk ke facebook-ku.








UNDANGAN DARI DEWAN KESENIAN JAKARTA


Kemarin, undangan yang cuma sehelai seukuran kartu pos itu dikirim oleh tukang post (ehmmm... sudah lama juga tukang post gak datang ke rumah). Setelah di cek, ternyata undangan dari dewan kesenian jakarta (DKJ) untuk menghadiri Malam Anugrah Sayembara Telaah Sastra DKJ 2009. Walaupun terdapat salah cetak (sedikit) pada nama penerima dimana namaku ditulis Eva Faizah (seharusnya Eza Faizah), tetapi aku yakin kalau undangan itu tidak salah alamat.
Aku memang pernah mengikuti sayembara menulis novel yang diadakan DKJ tahun 2008 lalu, tetapi itu sudah lewat dan aku jelas bukan pemenangnya, bahkan sebagai peserta sayembara, aku tidak mendapatkan undangan untuk menghadiri malam anugrah saymbara menulis novel 2008 tersebut.
Nah, sekarang...?? Sayembara telaah sastra ini aku nggak ikuti, tetapi secarik undangan dari Dewan Kesenian Jakarta dialamatkan padaku, untuk apa??? terlebih lagi, acara berlangsung malam hari pada hari jumat depan.
Antara malas pergi, dan penasaran. malas karena acara kemalaman dan tidak ada teman, tetapi pensaran mau berada diantara para sastrawan.
hhhfffhhh... mumpung masih ada beberapa hari lagi untuk memikirkannya... semoga ada sesuatu yang bisa meyakinkan aku untuk ikut atau tidak. Sehingga apapun itu, keputusan yang aku ambil bukan sesuatu yang akan membuat aku menyesal.

Dolls

Kalian bisa saja membuat standard baku
Tapi jika nanti aku perlu, aku buat standard baru, kemudian aku akan pura-pura tidak tahu. dan masalahku selesai.

Lalu bagaimana masalah kalian? aah.... aku disini bukan untuk mengurusi masalah kalian. Aku disini untuk memenuhi pundi-pundi uangku.

Aku sudah berikan kalian upah, apa lagi...??

Lalu bagaimana dengan hati kami? kemana kami bisa mengubah hati kami menjadi karet-karet elastis yang semua bongkahan kebencian bisa kami sempalkan ke dalamnya.

Ahhh... itukan urusan kalian

Atau mau dengar cara kami mengutukmu, mengejekmu dan menertawakanmu.

Aku tidak dengar apa yang kalian gunjingkan
Karena aku sudah pasang beberapa orang yang sudah aku dehumanisasi menjadi sekedar boneka untuk menjaga jarakku dengan kalian.

Dan boneka itu, benar-benar sudah tidak kami anggap manusia.

Apa kau pikir aku peduli pada boneka-boneka itu...??
Terhadap boneka-boneka itu, aku sama tidak pedulinya.

Dan kemudian, boneka itu hanya menjadi rongsokan tidak berguna, bahkan untuk dicerca.


SAYA MATI KEBOSANAN


Rutinitas adalah sesuatu yang melegakan, ia bersifat datar, tidak bergolak, dan kita telah mengantisipasi segala sesuatu untuk menghadapainya, mengalaminya berkali-kali seperti deja vu.
Rutinitas menyenangkan sampai kita membuat kalkulasi tentang aktivitas kita setiap harinya, hingga kita sadari bahwa hidup telah kita jalani hanya dengan satu warna, satu corak.
Seperti aku yang memulai hari ditempat yang sama, aktivitas yang sama, kemudian menuju ladang tempat Tuhan menitipkan rezeki padaku, kemudian pulang dengan penampilan yang sama, lusuh.
Aku butuh sesuatu yang mendebarkan jantungku.
Aku butuh sesuatu yang membuat ku berlari lebih jauh dari yang aku mampu.
Aku butuh sesuatu yang baru, yang tidak aku duga sebelumnya.
Aku butuh lebih banyak warna.

Aku butuh itu semua sebelum aku mati karena bosan.

GREAT PRESENTS IS ONLY GIVEN TO GREAT STRUGGLERS


Tidak ada yang gratis di dunia ini. Sinis?, tetapi itulah kenyataannya. Bahkan Tuhan sudah ingatkan bahwa hanya kepada orang yang mau berupaya yang dapat merubah nasibnya. Alam memilki seleksi sendiri untuk menentukan siapa yang layak menjadi yang terbaik. Bukan melalui voting ala demokrasi, yang dirancang diruang loby. Seleksi alam yang ketat untuk menyaring orang-orang pilihan yang akan di beri gelar "sukses". Bila sekarang ini kita melihat teman-teman kita yang dulu payah di bangku sekolah atau kuliah, menjlema menjadi seorang berpangkat maka itulah dia yang berhasil melalui seleksi alam. Jika suatu saat kita bertemu lagi dengan si jenius di sekolah, namun kali ini kita menjumpainya di pinggir jalan , maka itulah hasil seleksi baginya.
Suatu saat kita akan jumpai bahwa deretan angka di buku rapot kita bukan suatu indikator yang valid untuk menentukan masa depan kita. Alam, alam adalah penguji sesungguhnya, alam adalah penguji yang tidak mengenal suap dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Alam patuh pada perintah Penciptanya untuk menyingkirkan siapa saja yang tidak layak menjadi orang pilihan.

Posisi puncak tidak banyak, karena itu bukan untuk di obral.

tempat tertinggi hanya untuk mereka yang bersungguh-sungguh. Hadiah terbesar hanya untuk mereka yang memperjuangkannya.

Beruntunglah kalian yang sedang berpeluh karena mengejar impian, berbahagialah kalian yang kehilangan waktu untuk bersenang-senang demi kesenangan yang sesungguhnya kalian butuhkan, dan kalian yang sedang berjuang, bersiaplah untuk mendapatkan yang layak kalian dapatkan.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama