Cerita Menjelang PialaThomas dan Uber 2010
2010, saatnya piala Thomas dan Uber diperebutkan kembali. Aku teringat pada perhelatan Thoma Uber dua tahun lalu di Jakarta, dimana aku bersama 7 orang teman sepakat untuk menyaksikan langsung Kompetisi bergengsi itu langsung di Senayan, karena kesempatan untuk digelar di jakarta lagi mungkin masih beberapa tahun kemudian. Walaupun Tim piala Thomas dan Uber Indonesia ketika itu tidak difavoritkan juara karena dominasi China yang belum terbendung negara manapun, terlebih Tim Uber Indonesia yang secara individu minim prestasi tidak menyurutkan niat kami untuk memberi semangat pada pahlawan olahraga.
Tidak disangka, Tim Uber Indonesia yang hanya ditargetkan masuk semifinal waktu itu, bisa adu kemampuan dengan raksasa bulutangkis di partai final. Mengetahui hal itu, kami berburu tiket masuk stadion untuk partai final Uber tersebut. Setelah berburu informasi, kami ketahui kalau pembelian langsung tiket bisa dibeli di Senayan, tetapi satu orang hanya dapat dua tiket. Karena kami berdelapan, kami tidak punya waktu untuk mengantri tiket yang katanya antriannya sudah panjang. Tidak patah arang, kami menelepon Customer Service salah satu bank sponsor, dan gagal lagi karena untuk mendapatkannya harus dengan kartu kredit bank tersebut, yang kami semua tidak punya. Aku teringat pada tetanggaku yang bekerja di Bank, dan langsung menghubunginya. Lagi-lagi kami kecewa, karena menurut tetanggaku, tiket sudah habis, ludes tidak tersisa.
Putus asa hanya berlangsung beberapa menit saja, kami dapat informai kalau di Senayan di pasang big screen, sehingga bagi yang tidak dapat tiket bisa nonton bareng di sana. Tidak bisa nonton di dalam stadion, di sampingnya pun jadi. Kami langsung meluncur ke Jakarta. Touring dengan 4 motor dari Cibubur, dan 45 menit kemudian tiba di salah satu area parkir Stadion Gelora Bung Karno, tempat big screen berdiri mantap dengan jumlah penonton yang banyak, sebagian cuek melantai tanpa alas, sebagian menjadikan sandal atau koran sebagai alas duduk, lampu sorot dari dalam stadion terlihat menari-nari kesana-kemari dan sesekali penjual minuman menawarkan dagangannya menjadikan suasana mirip nonton layar tancap, tetapi tidak mengurangi semangat kami untuk memberi dukungan pada atlet bulutangkis Indonesia yang berlaga.
Kami segera mencari posisi duduk yang nyaman. Dan pas kami duduk, pas pertandingan pertama di mulai. Maria Kristin menghadapi Xie Xing Fang di partai pertama. Kami bersorak kegirangan jika Maria mendapatkan point, dan bersorak jengkel jika Xie yang berhasil mencuri angka. ada saja alat untuk membuat bunyi-bunyian. yang paling murah ya tangan sendiri, tetapi karena kelamaan sakit juga, akhirnya ada yang menggunakan botol plastik bekas minuman, dan beberapa ada yang memakai sepasang stik panjang dari plastik menyerupai balon, yang jika ditepuk akan mengeluarkan bunyi. Kami celingukan mencari asal-muasal benda lucu itu, ternyata dijual seharga sepuluh ribu rupiah sepasang. Kami membeli delapan pasang. Sayang stik tersebut jarang kami pakai karena Partai Pertama ini dominasi pemain China tidak dapat diatasi dengan baik oleh Maria, membuat stik yang baru kami beli lebih banyak nganggur daripada beraksi.
Partai Kedua dimainkan partai ganda. Lilyana Natsir dan Vita Marissa memberikan perlawanan keras pada lawan. Membuat jantung kami berdegup lebih cepat, kerongkongan sakit karena terlalu banyak berteriak, dan stik kami kempes karena terlalu banyak dihantam ke pasangannya. Saking ramainya, suara dari dalam stadion terdengar hingga ke luar, suara yang tidak membuat kami iri, karena di sini pun tidak kalah hebohnya. Setelah kalah di set pertama, kami berteriak sejadi-jadinya ketika Pasangan Indonesia berhasil merebut set kedua. kami yang tadinya duduk melantai spontan berdiri dan berjingkrak kegirangan karena masih ada harapan. Awal set ketiga suasana masih gaduh, karena pertarungan masih sengit. Sayang, disaat-saat terakhir Lilyana dan Vita seperti kehabisan tenaga, membuat kami terduduk lemas menyaksikan kekalahan yang kedua.
Partai ketiga sudah dapat dibaca hasilnya, maka sebelum pertandingan habis, banyak dari penonton yang angkat kaki dari tempat duduknya. Kami masih sempat menyaksikan akhir Final Piala Uber, pulang dengan tangan merah dan suara serak, dan lebih menyedihkan mengetahui lagi-lagi Piala Uber kembali ke China, Tetapi kami tetap berharap Perebutan Piala Thoma dan Uber berikutnya Indonesia berjaya.
Dua tahun kemudian, apa yang kami impikan sepertinya masih jauh dari harapan bahkan menurutku prestasi Atlet Bulutangkis kita kian menurun saja. Jika pada perebutan Thoma Uber 2008 lalu ada Markis Kido dan Hendra Setiawan yang eksis sebagai Ganda Putra terbaik sedunia, dan ada Lilyana Natsir dan Nova Widianto yang berkibar sebagai Mix Double paling jago sejagad, yang membuat TimThomas ditargetkan melenggang ke Final waktu itu (walau akhirnya gagal juga). Thomas dan Uber kali ini diawali dengan minim prestasi. Prestasi Markis dan Hendra menurun sebelum PBSI memiliki penggantinya, hal yang sama terjadi pada Nova dan Lily.
Tidak ada regenerasi bisa dipastikan penyebebnya. Aku sempat tidak percaya, ketika melihat susunan Tim bulutangkis Sea Games di Laos akhir tahun lalu masih menurunkan Markis dan hendra serta Sony Dwi KUncoro yang nota bene, bukan levelnya lagi main untuk Sea Games. Lebih-lebih membaca artikel tentang Maria Kristin yang kalau saja 2012 nanti masih berumur dibawah 25 tahun masih akan diikutkan dalam PON untuk membela Jawa Tengah. Jika PON saja masih mengandalkan pemain sekaliber Maria Kristin, kapan yang junior bisa unjuk gigi. Pantas saja tidak ada regenerasi Bulutangkis Indonesia. Pantas saja prestasi bulutangkis kian merosot.
Putus asa hanya berlangsung beberapa menit saja, kami dapat informai kalau di Senayan di pasang big screen, sehingga bagi yang tidak dapat tiket bisa nonton bareng di sana. Tidak bisa nonton di dalam stadion, di sampingnya pun jadi. Kami langsung meluncur ke Jakarta. Touring dengan 4 motor dari Cibubur, dan 45 menit kemudian tiba di salah satu area parkir Stadion Gelora Bung Karno, tempat big screen berdiri mantap dengan jumlah penonton yang banyak, sebagian cuek melantai tanpa alas, sebagian menjadikan sandal atau koran sebagai alas duduk, lampu sorot dari dalam stadion terlihat menari-nari kesana-kemari dan sesekali penjual minuman menawarkan dagangannya menjadikan suasana mirip nonton layar tancap, tetapi tidak mengurangi semangat kami untuk memberi dukungan pada atlet bulutangkis Indonesia yang berlaga.
Kami segera mencari posisi duduk yang nyaman. Dan pas kami duduk, pas pertandingan pertama di mulai. Maria Kristin menghadapi Xie Xing Fang di partai pertama. Kami bersorak kegirangan jika Maria mendapatkan point, dan bersorak jengkel jika Xie yang berhasil mencuri angka. ada saja alat untuk membuat bunyi-bunyian. yang paling murah ya tangan sendiri, tetapi karena kelamaan sakit juga, akhirnya ada yang menggunakan botol plastik bekas minuman, dan beberapa ada yang memakai sepasang stik panjang dari plastik menyerupai balon, yang jika ditepuk akan mengeluarkan bunyi. Kami celingukan mencari asal-muasal benda lucu itu, ternyata dijual seharga sepuluh ribu rupiah sepasang. Kami membeli delapan pasang. Sayang stik tersebut jarang kami pakai karena Partai Pertama ini dominasi pemain China tidak dapat diatasi dengan baik oleh Maria, membuat stik yang baru kami beli lebih banyak nganggur daripada beraksi.
Partai Kedua dimainkan partai ganda. Lilyana Natsir dan Vita Marissa memberikan perlawanan keras pada lawan. Membuat jantung kami berdegup lebih cepat, kerongkongan sakit karena terlalu banyak berteriak, dan stik kami kempes karena terlalu banyak dihantam ke pasangannya. Saking ramainya, suara dari dalam stadion terdengar hingga ke luar, suara yang tidak membuat kami iri, karena di sini pun tidak kalah hebohnya. Setelah kalah di set pertama, kami berteriak sejadi-jadinya ketika Pasangan Indonesia berhasil merebut set kedua. kami yang tadinya duduk melantai spontan berdiri dan berjingkrak kegirangan karena masih ada harapan. Awal set ketiga suasana masih gaduh, karena pertarungan masih sengit. Sayang, disaat-saat terakhir Lilyana dan Vita seperti kehabisan tenaga, membuat kami terduduk lemas menyaksikan kekalahan yang kedua.
Partai ketiga sudah dapat dibaca hasilnya, maka sebelum pertandingan habis, banyak dari penonton yang angkat kaki dari tempat duduknya. Kami masih sempat menyaksikan akhir Final Piala Uber, pulang dengan tangan merah dan suara serak, dan lebih menyedihkan mengetahui lagi-lagi Piala Uber kembali ke China, Tetapi kami tetap berharap Perebutan Piala Thoma dan Uber berikutnya Indonesia berjaya.
Dua tahun kemudian, apa yang kami impikan sepertinya masih jauh dari harapan bahkan menurutku prestasi Atlet Bulutangkis kita kian menurun saja. Jika pada perebutan Thoma Uber 2008 lalu ada Markis Kido dan Hendra Setiawan yang eksis sebagai Ganda Putra terbaik sedunia, dan ada Lilyana Natsir dan Nova Widianto yang berkibar sebagai Mix Double paling jago sejagad, yang membuat TimThomas ditargetkan melenggang ke Final waktu itu (walau akhirnya gagal juga). Thomas dan Uber kali ini diawali dengan minim prestasi. Prestasi Markis dan Hendra menurun sebelum PBSI memiliki penggantinya, hal yang sama terjadi pada Nova dan Lily.
Tidak ada regenerasi bisa dipastikan penyebebnya. Aku sempat tidak percaya, ketika melihat susunan Tim bulutangkis Sea Games di Laos akhir tahun lalu masih menurunkan Markis dan hendra serta Sony Dwi KUncoro yang nota bene, bukan levelnya lagi main untuk Sea Games. Lebih-lebih membaca artikel tentang Maria Kristin yang kalau saja 2012 nanti masih berumur dibawah 25 tahun masih akan diikutkan dalam PON untuk membela Jawa Tengah. Jika PON saja masih mengandalkan pemain sekaliber Maria Kristin, kapan yang junior bisa unjuk gigi. Pantas saja tidak ada regenerasi Bulutangkis Indonesia. Pantas saja prestasi bulutangkis kian merosot.
2 Responses to “Cerita Menjelang PialaThomas dan Uber 2010”
Aku juga nonton tuh tapi dari rumah,hehe...
wwuiihhh... kalo disenayan tuh mantap ti,..
Posting Komentar