NEPOTISME : SI PENGHANCUR SISTEM
Aku kenal istilah nepotisme mungkin sekitar 12 atau 13 tahun yang lalu, ketika Presiden RI saat itu (alm) Soeharto, mengangkat putrinya sendiri Mbak Tutut menjadi Mentri Sosial. Isu nepotisme ini menjadi salah satu alasan terjadinya gerakan reformasi. Saat itu aku baru kelas 3 SMP, belum terpikirkan mengapa nepotisme sangat diharamkan para reformis.
Setelah bertahun-tahun kemudian, baru aku pahami mengapa nepotisme bisa sangat menghancurkan sistem yang telah di bangun oleh suatu perusahaan atau mungkin suatu negara.
Aku, sudah lima tahun terakhir ini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Lima tahun penuh perjuangan untuk bisa memahami segala kebijakan yang diambil sekelompok orang yang menamakan diri mereka management. Kebijakan yang sulit diterapkan ketika terbentur pada tembok bernama nepotisme. Sistem yang setiap pagi dipekikkan untuk memberi semangat dalam bentuk slogan perusahaan akhirnya hanya menjadi bahan cemoohan kami di waktu istirahat.
Proses memahami nepotisme di mulai dari kasus makan siang. Makan siang menjadi saat yang terburuk selama 8 jam kerja di kantor. Betapa tidak, setelah 4 jam di kelilingi pekerjaan yang baru kelar nanti jika kita pensiun, makan siang seharusnya menjadi sumber tambahan energi untuk melanjutkan kerja selama 4 jam berikutnya. Tetapi sialnya, makan siang justru menjadi hal paling membosankan, yang pada akhirnya membuat aku mengeluarkan uang ekstra atau membiarkan asam lambung naik sampai merusak ulu hati. Ada saja keluhannya, sayur kurang garam, Ayam goreng yang kurang digoreng dan puncaknya Telur busuk yang masuk menu makan siangku. Tidak cukup sekali dapat telur busuk, aku dapatkan menu yang serupa untuk kedua kalinya, membuat aku kehilangan selera amakn jika tahu menunya adalah telur.
Lima tahun bekerja, beberapa kali mengisi questioner untuk menilai catering kami (pertanyaan questiner itu ku isi dengan jawaban "tidak memuaskan", kecuali petugas cateringnya yang baik sekali). Tetapi bagaimanapun jawaban kami atas performance si Suplier, tetap saja selama lima tahun ini makan siang kami masih di suply pihak yang sama, dan atasanku yang sudah bekerja sepuluh tahun masih menyantap makan siang dari pihak yang sama selama masa kerjanya itu, dan menurutku sepuluh tahun kemudian (jika aku masih di sini) aku masih makan, dengan kualitas yang sama.
Setelah diselidiki dengan seksama, baru aku tahu mengapa, cengkraman si suplier ini begitu kuat. Penyebabnya tidak lain tidak bukan adalah pemilik catering adalah kerabat bosku sendiri. alasan yang mebuat pihak HRD hanya bisa bilang "lah kok mau ngelawan yang punya duit" setiap kali kita mengeluhkan catering ini. Padahal sebagai perusahaan dengan serifikat ISO, setiap supplier mendapat record masing-masing untuk kemudian di evaluasi. Suatu sistem yang akan membuat para suplier terus meningkatkan performanya jika ingin kerja sama antar dua perusahaan tetap berjalan, suatu sistem yang membuat kompetisi untuk meningkatkan kualitas. Jika semua rule di patuhi seharusnya ada evaluasi suplier catering untuk kemudian di putuskan apakah kerja sama masih bisa di lanjutkan atau tidak.
Tetapi rule tetap saja hanya menjadi hitam di atas puith, semuanya hanya menjadi omong kosong belaka jika sudah menyangkut kelangsungan hidup sang kerabat dekat. Tidak ada kualitas ketika kompetisi di tiadakan, tidak ada mutu ketika yang terjadi adalah monopoli. Bukti nyata, bahwa nepotisme telah membuat sistem tidak berdaya.
Setelah bertahun-tahun kemudian, baru aku pahami mengapa nepotisme bisa sangat menghancurkan sistem yang telah di bangun oleh suatu perusahaan atau mungkin suatu negara.
Aku, sudah lima tahun terakhir ini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Lima tahun penuh perjuangan untuk bisa memahami segala kebijakan yang diambil sekelompok orang yang menamakan diri mereka management. Kebijakan yang sulit diterapkan ketika terbentur pada tembok bernama nepotisme. Sistem yang setiap pagi dipekikkan untuk memberi semangat dalam bentuk slogan perusahaan akhirnya hanya menjadi bahan cemoohan kami di waktu istirahat.
Proses memahami nepotisme di mulai dari kasus makan siang. Makan siang menjadi saat yang terburuk selama 8 jam kerja di kantor. Betapa tidak, setelah 4 jam di kelilingi pekerjaan yang baru kelar nanti jika kita pensiun, makan siang seharusnya menjadi sumber tambahan energi untuk melanjutkan kerja selama 4 jam berikutnya. Tetapi sialnya, makan siang justru menjadi hal paling membosankan, yang pada akhirnya membuat aku mengeluarkan uang ekstra atau membiarkan asam lambung naik sampai merusak ulu hati. Ada saja keluhannya, sayur kurang garam, Ayam goreng yang kurang digoreng dan puncaknya Telur busuk yang masuk menu makan siangku. Tidak cukup sekali dapat telur busuk, aku dapatkan menu yang serupa untuk kedua kalinya, membuat aku kehilangan selera amakn jika tahu menunya adalah telur.
Lima tahun bekerja, beberapa kali mengisi questioner untuk menilai catering kami (pertanyaan questiner itu ku isi dengan jawaban "tidak memuaskan", kecuali petugas cateringnya yang baik sekali). Tetapi bagaimanapun jawaban kami atas performance si Suplier, tetap saja selama lima tahun ini makan siang kami masih di suply pihak yang sama, dan atasanku yang sudah bekerja sepuluh tahun masih menyantap makan siang dari pihak yang sama selama masa kerjanya itu, dan menurutku sepuluh tahun kemudian (jika aku masih di sini) aku masih makan, dengan kualitas yang sama.
Setelah diselidiki dengan seksama, baru aku tahu mengapa, cengkraman si suplier ini begitu kuat. Penyebabnya tidak lain tidak bukan adalah pemilik catering adalah kerabat bosku sendiri. alasan yang mebuat pihak HRD hanya bisa bilang "lah kok mau ngelawan yang punya duit" setiap kali kita mengeluhkan catering ini. Padahal sebagai perusahaan dengan serifikat ISO, setiap supplier mendapat record masing-masing untuk kemudian di evaluasi. Suatu sistem yang akan membuat para suplier terus meningkatkan performanya jika ingin kerja sama antar dua perusahaan tetap berjalan, suatu sistem yang membuat kompetisi untuk meningkatkan kualitas. Jika semua rule di patuhi seharusnya ada evaluasi suplier catering untuk kemudian di putuskan apakah kerja sama masih bisa di lanjutkan atau tidak.
Tetapi rule tetap saja hanya menjadi hitam di atas puith, semuanya hanya menjadi omong kosong belaka jika sudah menyangkut kelangsungan hidup sang kerabat dekat. Tidak ada kualitas ketika kompetisi di tiadakan, tidak ada mutu ketika yang terjadi adalah monopoli. Bukti nyata, bahwa nepotisme telah membuat sistem tidak berdaya.
2 Responses to “NEPOTISME : SI PENGHANCUR SISTEM”
Wah menderita banget kalo udah capek2 kerja trus dikasih makanan gk enak, emangnya Bosmu gak pernah makan di kantin itu ya? kok gak tau makanannya gak enak?
iya ti, membuat gue berpikir jadi ibu rumah tangga aja kaya dirimu...
Posting Komentar