Semangat, Riri...!!!
Riri, gadis tomboy 19 tahun itu sudah ku kenal sejak beberapa tahun silam, saat itu ia masih duduk di bangku sekolah dasar, masih suka main futsal, dan masih menjadi santri di Taman Pendidikan Alquran tempat kakakku mengajar. Seperti gadis tomboy lainnya, jalannya gagah seperti laki-laki, aku tidak pernah sekalipun melihatnya memakai pakaian agak sedikit feminin, pakaian kebesarnnya bergaya casual, dengan kaos sebagai andalannya, dan potongan rambutnya selalu pendek, Riri pernah memanjangkan rambutnya hingga sebahu ketika masuk usia ABG :D.
Aku teringat kejadian sekitar tahun 2004, saat itu Riri baru lulus SD dan mengingat ia anak yang berprestasi kami yakin Riri bisa masuk SMP negeri unggulan di kota Depok. sayangnya, saat itu adalah ketika sistem penerimaan siswa baru diubah dari berdasarkan NEM, menjadi tes internal sekolah. Dulu ketika masih berdasarkan NEM kita dengan mudah memastikan ada kecurangan atau tidak. Proses yang terjadi dengan sistem ini adalah NEM para calon siswa di daftar, jika kapasitas sekolah 400 orang maka siswa yang diterima adalah 400 orang yang memiliki NEM tertinggi. Pada akhirnya kita mengetahui berapa NEM minimal yang diterima di sekolah tersebut.
Berbeda dengan sistem penerimaan siswa dengan seleksi internal. Setelah melewati UAN, para siswa harus menempuh ujian masuk yang diselenggarakan internal sekolah. sehingga yang diterima adalah mereka yang memiliki nilai ujian masuk tertinggi. Nilai yang kita tidak bisa kontrol sama sekali.
Meskipun kami yakin Riri bisa menembus ujian masuk tersebut pada akhirnya kami mendengar Riri gagal masuk ke SMP favorit itu. Ternyata bukan hanya kami yang tidak percaya pada hasil tes tersebut, masih banyak orang tua lainnya yang meragukan kejujuran tes ini. Alasan yang dilontarkan pihak sekolah adalah mungkin saja, ketika Ujian Nasional si anak belajar dan ketika ujian masuk SMP anak tersebut tidak belajar. Alasan yang aneh mengingat siswa yang diprediksi masuk banyak yang gagal, kebetulan yang aneh kan...??. Tetapi apa daya, orang-orang seperti Riri hanya bisa pasrah pada tindak-tanduk orang-orang yang diragukan kejujurannya, gagal masuk ke SMP negeri, Riri terpaksa masuk ke SMP swasta.
Lulus SMA, Riri memilih masuk program diploma 3 di perguruan tinggi di kota Bogor. Darinya, aku tahu kalau biaya kuliah di sana mencapai 3 juta rupiah per semester, belum lagi uang yang dibayarkan sebagai uang masuk. Jumlah yang menurutku sangat besar untuk ukuran perguruan tinggi negeri. Bukan perkara mudah mencari uang 3 juta per enam bulan. itu belum termasuk ongkos, foto kopi, membuat makalah dan tetek bengek lainnya, yang membuat biaya pendidikan tinggi tidak murah. Tidak cukup sampai di situ, telat sehari dari jadwal yang ditetapkan membuat para mahasiswa ditambah bebannya dengan membayar denda. Seperti yang Riri ceritakan. Ayahnya terpaksa membayar denda 300 ribu rupiah, karena terlambat membayar uang semester sebesar 3 juta rupiah. Aku terheran-heran pada denda ini. Karena Riri kuliah di perguruan tinggi negeri. Aku saja yang kuliah di swasta sekalipun tidak pernah kena denda padahal hampir tiap semester aku terlambat membayar uang semester.
Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk Riri selain bersimpatik. Aku harap ia masih bisa menyelesaikan kuliahnya dan tidak menyerah ditengah sistem pendidikan Indonesia yang masih saja carut marut. aku hanya bisa terus memberinya semangat... Semangat Riri...!!!
Berbeda dengan sistem penerimaan siswa dengan seleksi internal. Setelah melewati UAN, para siswa harus menempuh ujian masuk yang diselenggarakan internal sekolah. sehingga yang diterima adalah mereka yang memiliki nilai ujian masuk tertinggi. Nilai yang kita tidak bisa kontrol sama sekali.
Meskipun kami yakin Riri bisa menembus ujian masuk tersebut pada akhirnya kami mendengar Riri gagal masuk ke SMP favorit itu. Ternyata bukan hanya kami yang tidak percaya pada hasil tes tersebut, masih banyak orang tua lainnya yang meragukan kejujuran tes ini. Alasan yang dilontarkan pihak sekolah adalah mungkin saja, ketika Ujian Nasional si anak belajar dan ketika ujian masuk SMP anak tersebut tidak belajar. Alasan yang aneh mengingat siswa yang diprediksi masuk banyak yang gagal, kebetulan yang aneh kan...??. Tetapi apa daya, orang-orang seperti Riri hanya bisa pasrah pada tindak-tanduk orang-orang yang diragukan kejujurannya, gagal masuk ke SMP negeri, Riri terpaksa masuk ke SMP swasta.
Lulus SMA, Riri memilih masuk program diploma 3 di perguruan tinggi di kota Bogor. Darinya, aku tahu kalau biaya kuliah di sana mencapai 3 juta rupiah per semester, belum lagi uang yang dibayarkan sebagai uang masuk. Jumlah yang menurutku sangat besar untuk ukuran perguruan tinggi negeri. Bukan perkara mudah mencari uang 3 juta per enam bulan. itu belum termasuk ongkos, foto kopi, membuat makalah dan tetek bengek lainnya, yang membuat biaya pendidikan tinggi tidak murah. Tidak cukup sampai di situ, telat sehari dari jadwal yang ditetapkan membuat para mahasiswa ditambah bebannya dengan membayar denda. Seperti yang Riri ceritakan. Ayahnya terpaksa membayar denda 300 ribu rupiah, karena terlambat membayar uang semester sebesar 3 juta rupiah. Aku terheran-heran pada denda ini. Karena Riri kuliah di perguruan tinggi negeri. Aku saja yang kuliah di swasta sekalipun tidak pernah kena denda padahal hampir tiap semester aku terlambat membayar uang semester.
Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk Riri selain bersimpatik. Aku harap ia masih bisa menyelesaikan kuliahnya dan tidak menyerah ditengah sistem pendidikan Indonesia yang masih saja carut marut. aku hanya bisa terus memberinya semangat... Semangat Riri...!!!
4 Responses to “Semangat, Riri...!!!”
Sistem Penerimaan siswa dari dulu sampai skrg memang selalu saja ada pihak2 yg ga jujur, tebang pilih selalu berlaku hingga skrg. Dari segi kualitas sepertinya negeri/swasta sdh bs bersaing koq. Yang penting ke depan qt bs mandiri/berkreasi. Lain halnya kalo kita jadi manusia 'kuliner' alias jadi kuli terus ! salam ...top post for u.
ya... terlbih sekarang. swasta sama negeri gak ada bedanya... sama2 mahalll...!!!
untuk program diploma memang dari dulu itu mahal bahkan sama dengan swasta. di PTN yang disubsidi pemerintah hanya program s1.jadi penyelenggaraan program diploma nga beda jauh dengan swasta..
buat uni eza yang udah ri anggep kaka ri juga..mkasih yah buat dkungannya... :)
Posting Komentar